MAKALAH
PENGANTAR HUKUM INDONESIA
KRIMINOLOGI TENTANG PELAKU KEJAHATAN
OLEH :
NAMA-NAMA KELOMPOK V (Lima) :
1.
Sufrin Rija
2.
Hamka
3.
Laabo Lauri
4.
Ismiati
5.
Dika
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG KARNO
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab rampungnya makalah kami yang berjudul “PELAKU KEJAHATAN”tepat pada waktunya tidak terlepas dari Rahmat dan Karunia-Nya.Kami juga mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memahami lebih dalam tentang mata kuliah Kriminologi.
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sebab rampungnya makalah kami yang berjudul “PELAKU KEJAHATAN”tepat pada waktunya tidak terlepas dari Rahmat dan Karunia-Nya.Kami juga mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat dan dapat memahami lebih dalam tentang mata kuliah Kriminologi.
Tentu saja
demi kelengkapan materi dan kesempurnaan makalah ini,kami tetap mengharapkan
masukan teman-teman atau tanggapannya baik dalam bentuk saran maupun kritikan
adalah hal yang kami butuhkan dan kami akan sambut dengan senang hati agar
makalah ini mencapai kesempurnaan.Atas perhatiannya yang lebih kepada makalah
ini,kami ucapkan banyak TERIMAHKASIH
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batas Relativitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.
Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau
bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah
kejahatan.”Misdaad is benoming” yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai
jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat.
Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan
“mala in prohibita”.Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan
sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah
suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah
dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana perspektif kriminologi
tentang pelaku kejahatan?
2.
Apa faktor yang mempengaruhi orang
melakukan kejahatan?
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
Mengenai
Paradigma Kriminologi, kita sebaiknya mencermati sejarahnya, dari Klasik hingga
Kritis. Aliran klasik, mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke 19 dan
kemudian meluas ke negara-negara lain di Eropa dan Amerika, dasar dari mazhab
ini adalah hedonistic-psycology dan metodenya Arm- Chair (tulis menulis).
Psikologi mejadi dasar aliran ini , sifatnya adalah individualistis,
intelectualistis dan voluntaristis, aliran ini berpandangan adanya kebebasan
kehendak sedemikain rupa, sehingga tidak ada kemungkinan untuk menyelidiki
lebih lanjut sebab-sebab kejahatan atau usaha-usaha pencegahan kejahatan.
Contoh yang sederhana adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang,
sangat sederhana, namun pandangan ini berhasil menjadi tulang punggung hukum
pidana dan merupakan doktrin yang berpengaruh hingga sekarang.
Menurut
aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman
yang sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial
dan keadaan-keadan lain. Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional,
dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun aliran ini kurang mampu
menjelaskan mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang
mencengkram kuat dan mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat
adalah mereka yang dicap demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata
terhadap pola berfikir banyak ahli (hukum) di Indonesia.Aliran positivis muncul
sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran klasik, aliran ini
berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat. Aliran ini
bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor-faktor di
luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti
bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan
keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau
ditentukan oleh perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya. Lambroso, yang
dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19 secara tegas
mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir), bahwa
penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus
misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya memiliki tanda atau
ciri yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun
mendapat kritikan dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini
pengaruh dari Lombroso masih terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila
menampilakan ciri-ciri biologis berambut gondrong, berdahi lebar, seperti satau
atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala bayi yang baru dilahirkan, dll. Kemudian
muncul aliran yang memperluas dari individu (biologis) kepada kondisi-kondisi
yang dapat menghasilkan penjahat. Kejahatan merupakan produk sistem sosial,
yang menekankan pada struktur kesempatan yang berbeda atau diffrential
opartunity structure, kemiskinan, rasisme dan lain-lain, sebagai faktor
penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini seperti Tarde,
Lacasagne, WA Bonger dan Sutherland. Ketidak puasan terhadap aliran-aliran di
atas kemudian menampilkan perspektif baru dalam melihat mengapa seseorang dapat
menjadi jahat, sebagai hasilnya muncul apa yang disebut denagan perspektif
aliran kriminologi baru yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan radikal.
Munculnya
aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahan-perubahan
sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah
redanya perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai
radikal., bahwa pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif
dan waspada. Wawasan kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya
kriminologi baru ini salah satunya dan di mulai dengan munculnya teori
Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard Becker yang mengatakan pada
dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam konteks, dipengaruhi oleh
kondisi-kondisi sosial. Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan)
ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan
diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat sosial seperti Industrialisasi,
perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan bukanlah kualitas
perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya
peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar. Oleh
karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu
dari penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya
teori ini muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul
kemudian oleh teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf
Chambliss dan Seidman, dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan
aliran Kriminologi radikal. Bagi aliran-aliran kriminologi baru penyimpangan
adalah normal, dalam pengertian manusia terlibat secara sadar dalam
penjara-penjara yang sesungguhnya dan masyarakat yang juga merupakan penjara,
dalam menyatakan kebhinekaan mereka. Tugas ahli kriminologi bukanlah sekedar
mempermasalahkan stereotype atau bertindak sebagai pembawa-pembawa alternatif
phenomenological realities, kewajiban ahli kriminologi adalah untuk menciptakan
suatu masyarakat di mana kenyataan-kenyataan keragaman personal, organik dan
sosial manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa.
Munculnya aliran baru kriminologi
sebenarnya merupakan kritik terhadap perkembangan kriminologi itu sendiri,
disaat kriminologi tradisional atau oleh Taylor disebut dengan istilah
Orthodoks kriminologi, tidak mampu memuaskan jawaban-jawabn terutama terhadap
mengapa mereka melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Terlebih lagi studi yang
dilakukan masih tradisional, fokus kejahatan hanyalah terhadap apa yang disebut
dengan “kejahatan jalanan.” Terutama di Indonesia, hal ini telah menyita tenaga
dari sistem peradilan pidana sehingga kejahatan-kejahatan dengan klasifikasi
lain atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan menjadi
tidak tersentuh, sehingga lahirnya aliran-lairan baru dalam kriminologi,
apabila ditempatkan dalam konteks paradigma Thomas Kuhn, maka proses ini bisa
disebut sebagai Lompatan Paradigmatik, bahwa Ilmu pengetahuan itu hidup karena
revolusi bukan akumulasi. Menurut Mardjono,lahirnya Kriminologi yang non
konvensional memberikan analisa berbeda, dilihat dari kacamata kriminologi yang
non konvensional itu maka apa yang disjikan oleh kriminologi konvensional
adalah menyesatkan, dengan dua hal yang menjadi sangat penting; bahwa angka
kriminalitas yang tidak dilaporkan dan tidak tercatat cukup besar (the dark
number of crime), dan ;di samping kejahatan jalanan masih terdapat kejahatan
korporasi (Corporate crime) dan kejahatan-kerah putih/orang berdasi (White
Collar Crime), yang jarang diketahui, dilaporkan dan dicatat.
Pada intinya aliran baru mengecam statistik kriminalitas yang tidak mampu memberikan data akurat, dan menjelaskan kejahatan secara faktual. Seorang kriminolog Indonesia yaitu Paul Moedikdo, memberikan komentar terhadap pandangan aliran-aliran kriminologi baru ini, menurutnya kadar kebenaran dan nilai praktis teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna memperbaiki posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi bahaya praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai kepada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik-delik adalah pernyataan dari perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendak menyamaratakan orang menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi.
Ini kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru melupakan sama sekali adanya street crime yang konvensional dan tradisional yang berkait dengan tatanan birokratis yang ada, maka dapat dikatakan catatan atau kritik terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang diperlukan dalam meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional, namun rumusannya tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan dan perilaku menyimpang terlalu jauh, sehingga justru melahirkan pertentangan pendapat yang berkepanjangan dan dapat memecah belah para kriminologi ke dalam dua kubu. Paul Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor dll, yaitu bahwa rumusan kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa adalah rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk mengkriminalisasi kajahatan yang harus dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip egalitarian dan kooperatif, bukan berdasarkan hierarkhikal dan eksploitatif. Suatu kritik dilontarkan pula terhadap teori Labelling bahwa, teori ini bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, dan teori ini tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut Hagan, teori labeling yang selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak bahwa argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap.
Pada intinya aliran baru mengecam statistik kriminalitas yang tidak mampu memberikan data akurat, dan menjelaskan kejahatan secara faktual. Seorang kriminolog Indonesia yaitu Paul Moedikdo, memberikan komentar terhadap pandangan aliran-aliran kriminologi baru ini, menurutnya kadar kebenaran dan nilai praktis teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna memperbaiki posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi bahaya praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai kepada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik-delik adalah pernyataan dari perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendak menyamaratakan orang menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi.
Ini kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru melupakan sama sekali adanya street crime yang konvensional dan tradisional yang berkait dengan tatanan birokratis yang ada, maka dapat dikatakan catatan atau kritik terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang diperlukan dalam meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional, namun rumusannya tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan dan perilaku menyimpang terlalu jauh, sehingga justru melahirkan pertentangan pendapat yang berkepanjangan dan dapat memecah belah para kriminologi ke dalam dua kubu. Paul Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor dll, yaitu bahwa rumusan kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa adalah rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk mengkriminalisasi kajahatan yang harus dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip egalitarian dan kooperatif, bukan berdasarkan hierarkhikal dan eksploitatif. Suatu kritik dilontarkan pula terhadap teori Labelling bahwa, teori ini bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, dan teori ini tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut Hagan, teori labeling yang selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak bahwa argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap.
A. Klasifikasi Penjahat
Noach
melihat krimanalitas dari dua sisi, yaitu
1.
Sisi Perbuatannya
Dilihat dari
sisi perbuatannya, kriminalitas dapat dikelompokkan lagi ke dalam dua kelompok
yaitu:
a.
Cara Perbuatan itu dilakukan,
kelompok ini dapat dibagi menjadi:
Perbuatan dilakukan dengan cara si korban
mengetahui baik perbuatannya maupun pelakunya. Tidak menjadi masalah apakah si
korban sadar bahwa itu adalah suatu tindak pidana atau bukan. Misalnya dalam
hal penganiayaan, penghinaan, perampokan, penipuan, dan delik seksual. Di
samping itu terdapat pula delik yang dilakukan sedemikian rupa sehingga si
korban tidak mengetahui baik perbuatannya maupun maupun pelakunya pada saat
perbuatan itu dilakukan seperti penggelapan, penadahan, pencurian, pemalsuan,
dan peracunan
Perbuatan
dilakukan dengan menggunakan sarana seperti bahan kimia, perlengkapan, dan
sebaginya atau tanpa sarana
Perbuatan
dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau dilakukan dengan “biasa”.
b.
Benda hukum yang dikenai atau
menjadi obyek delik misal kejahatan terhadap nyawa, kejahatan terhadap
kekuasaan umum, dan lain sebagainya.
2.
Sisi Pelakunya
Dilihat dari
sisi pelakunya, dapat dibagi menurut motif si pelaku, mengapa melakukan
kejahatan, dan dari sifat pelaku sendiri.,Lombroso mengklasifikasi penjahat
sebagai berikut:
a.
Penjahat pembawaan (born criminal),
yaitu penjahat yang dilihat dari ciri-ciri tubuhnya (stigmata) karena atavisme
(degenerasi) lalu menjadi jahat.
b.
Penjahat karena sakit jiwa seperti
idiot, imbesil, melankoli, epilepsi, histeri, dementia pellagra, dan pemabuk
c.
Penjahat karena dorongan hati panas
(passion) seperti membunuh istri simpanan suaminya
d.
Penjahat karena kesempatan yang
dapat dibagi menjadi:
Penjahat bukan sebenarnya (pseudo criminal) yaitu
mereka yang melakukan tindak pidana karena keadaan yang sangat melukai hati
secara luar biasa dan mereka yang melakukan tindak pidana hanya karena tindakan
teknis, tanpa menyangkut suatu nilai moral atau norma, misalnya pelanggaran
lalu lintas, dsb.
Penjahat karena kebiasaan, penjahat ini pada saat lahir normal, namun sejak masa kanak-kanak dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang jahat, akhirnya kebiasaan itu menjadi watak yang menyimpang dari anggota masyarakvat normal.
Penjahat karena kebiasaan, penjahat ini pada saat lahir normal, namun sejak masa kanak-kanak dihadapkan pada pengaruh lingkungan yang jahat, akhirnya kebiasaan itu menjadi watak yang menyimpang dari anggota masyarakvat normal.
e.
Kriminoloid, merupakan peralihan
antara penjahat pembawaan dan penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang baru
pada keadaan kurang baik yang ringan-ringan saja telah terlibat dalam tindak
pidana Dalam klasifikasinya, Lombroso
menggunakan kriteria psikis, fisik, dan lingkungan.
Garfalo, membuat klasifikasi sebagai berikut:
Pembunuh
Penjahat agresif
Penjahat agresif
Penjahat karena kurang kejujuran, dan
Penjahat karena dorongan hati panas atau karena
ketamakan
Aschaffenburg membagi penjahat menjadi:
Penjahat karena
kebetulan, yaitu mereka yang melakukan tindak pidana karena culpa
Penjahat karena pengaruh keadaan, yaitu mereka yang karena pengaruh tiba-tiba dengan segera berakibat dia melakukan kejahatan
Penjahat karena pengaruh keadaan, yaitu mereka yang karena pengaruh tiba-tiba dengan segera berakibat dia melakukan kejahatan
Penjahat karena kesempatan, yaitu mereka yang karena
ada kesempatan terbuka secara kebetulan, lalu melakukan tindak pidana
Penjahat kambuhan (residivis), yaitu mereka yang
berulang-ulang melakukan kejahatan, baik kejahatan semacam maupun tidak
Penjahat karena kebiasaan, yaitu mereka yang secara
teratur melakukan kejahatan
Penjahat professional, mereka yang secara teratur melakukan kejahatan secara aktif dan sikap hidupnya memang diarahkan kepada kejahatan
Penjahat professional, mereka yang secara teratur melakukan kejahatan secara aktif dan sikap hidupnya memang diarahkan kepada kejahatan
Abrahamsen membagi penjahat menjadi:
a.
Penjahat sesat,
Penjahat
karena situasi tertentu, kebetulan, dan karena pengaruh orang lain
b.
Penjahat kronis
Penjahat karena penyimpangan organis atau
fungsional tubuh maupun jiwav
Penjahat sesat yang kronis yaitu mereka sering kali terlibat dalam suatu situasi, kronis, karena pengaruh orang lain.
Penjahat sesat yang kronis yaitu mereka sering kali terlibat dalam suatu situasi, kronis, karena pengaruh orang lain.
Penjahat neurotik, dan mereka yang bertindak
di bawah pengaruh dorongan di dalam dirinya
Penjahat dengan watak neurotis, jika penjahat
neurotik banyak dilihat dari tingkah lakunya, maka penjahat dengan watak
neurotis dilihat dari watak kepribadiannya
Penjahat dengan pertumbuhan nurani yang kurang baik (superego)v
Gruhle membagi penjahat menjadi:
Penjahat dengan pertumbuhan nurani yang kurang baik (superego)v
Gruhle membagi penjahat menjadi:
a.
Penjahat karena kecenderungan (bukan
bakat):
Aktif:
mereka yang mempunyai kehendak untuk berbuat jahat
Pasif: mereka yang tidak merasa keberatan terhadap dilakukannya tindak pidana, tetapi tidak begitu kuat berkehendak sebagai kelompok yang aktif, delik bagi mereka ini merupakan jalan keluar yang mudah untuk mengatasi kesulitan.
Pasif: mereka yang tidak merasa keberatan terhadap dilakukannya tindak pidana, tetapi tidak begitu kuat berkehendak sebagai kelompok yang aktif, delik bagi mereka ini merupakan jalan keluar yang mudah untuk mengatasi kesulitan.
b.
Penjahat karena kelemahan
Mereka yang
baik karena situasi sulit, keadaan darurat maupun keadaan yang cukup baik,
melakukan kejahatan, bukan karena mereka berkemauan, melainkan karena tidak
punya daya tahan dalam dirinya untuk tidak berbuat jahat.
c.
Penjahat Karena hati panas
Mereka yang
karena pengaruh sesuatu tidak dapat mengendalikan dirinya juga karena putus asa
lalu berbuat jahat.
d.
Penjahat karena keyakinan
Mereka yang
menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma yang berlaku di dalam
masyarakat.
Capeli
membagi penjahat menurut faktor terjadinya kejahatan yaitu:
a.
Karena faktor psikopatologik:
Orang-orang
yang kurang waras, gila
Orang yang
secara psikis tidak normal, tetapi tidak gila
b.
Karena faktor organis:
Orang-orang
yang karena menderita gangguan fisik pada waktu telah cukup umur, seperti
mereka yang menjadi tua, berbagai macam cacat
Orang-orang yang menderita gangguan fisik sejak masa kanak-kanak atau sejak lahir, dan yang menderita kesulitan pendidikan atau sosialisasi.
Orang-orang yang menderita gangguan fisik sejak masa kanak-kanak atau sejak lahir, dan yang menderita kesulitan pendidikan atau sosialisasi.
c.
Karena faktor sosial:
Penjahat
kebiasaan
Penjahat
karena kesempatan (karena keadaan/desakan ekonomi atau fisik)v
Penjahat yang pertama-tama melakukan kejahatan kecil-kecil, seringkali hanya secara kebetulan saja, selanjutnya meningkat ke arah kejahatan yang lebih seriusv
Pengikut serta kejahatan kelompok, seperti pencurian di pabrik, lynch (pengeroyokan)
Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau delik mungkin sebagai akibat dari watak si penjahat (disposisinya), atau karena peristiwa psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi tanpa dasar yang tunggal, dan Seelig dengan tegas melihatnya bahwa secara biologis (dalam arti ciri tubuh dan psikis) merupakan kelompok manusia yang heterogen dan tidak tampak memiliki ciri-ciri biologis. Dari pandangan itu, Seelig membagi penjahat menjadi:
Penjahat yang pertama-tama melakukan kejahatan kecil-kecil, seringkali hanya secara kebetulan saja, selanjutnya meningkat ke arah kejahatan yang lebih seriusv
Pengikut serta kejahatan kelompok, seperti pencurian di pabrik, lynch (pengeroyokan)
Seelig berpendapat bahwa kejahatan atau delik mungkin sebagai akibat dari watak si penjahat (disposisinya), atau karena peristiwa psikis saat terjadinya kejahatan. Pembagian penjahatnya menjadi tanpa dasar yang tunggal, dan Seelig dengan tegas melihatnya bahwa secara biologis (dalam arti ciri tubuh dan psikis) merupakan kelompok manusia yang heterogen dan tidak tampak memiliki ciri-ciri biologis. Dari pandangan itu, Seelig membagi penjahat menjadi:
a.
Delinkuen professional karena malas
bekerja
Mereka melakukan delik berulang-ulang, seperti orang
melakukan pekerjaan secara normal. Kemalasan kerjanya mencolok, cara hidupnya
sosial. Misal gelandangan, pelacur
b.
Delinkuen terhadap harta benda
karena daya tahan lemah
Mereka biasanya melakukan pekerjaan normal seperti orang kebanyakan. Namun di dalam kerjanya, ketika melihat ada harta benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena daya tahan yang lemah, mereka melakukan delik. Misal pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh pegawai administrasi, dll
Mereka biasanya melakukan pekerjaan normal seperti orang kebanyakan. Namun di dalam kerjanya, ketika melihat ada harta benda, mereka tergoda untuk memilikinya, karena daya tahan yang lemah, mereka melakukan delik. Misal pencurian di tempat kerja, penggelapan oleh pegawai administrasi, dll
c.
Delinkuen karena dorongan agresi
Mereka sangat mudah menjadi berang dan melakukan
perbuatan agresif dengan ucapan maupun tulisan. Biasanya mereka ini menunjukkan
kurangnya tenggang rasa dan perasaan sosial. Penggunaan minuman keras sering
terjadi diantara mereka
d.
Delinkuen karena tidak dapat menahan
dorongan seksual
Mereka ini adalah yang tidak tahan terhadap dorongan seksual dan ingin memuaskan dorongan itu dengan segera, karena kurangnya daya tahan.
Mereka ini adalah yang tidak tahan terhadap dorongan seksual dan ingin memuaskan dorongan itu dengan segera, karena kurangnya daya tahan.
e.
Delinkuen karena krisis
Mereka yang melihat bahwa tindak pidana adalah sebagai
jalan keluar dalam krisis. Krisis ini meliputi:
Perubahan badani, perubahan yang menimbulkan
ketegangan seseorang (pubertas, klimaktorium, menjadi tua)
Kejadian luar yang tidak menguntungkan, khususnya
dalam lapangan ekonomi atau dalam lapangan percintaan
Karena krisis
diri sendiri.
f.
Delinkuen karena reaksi primitive
Mereka yang berusaha melepaskan tekanan jiwanya dengan
cara yang tidak disadari dan seringkali bertentangan dengan kepentingan dirinya
sendiri atau bertentangan dengan kepentingan hukum pihak lain. Tekanan tersebut
dapat terjadi sesaat atau terbentuk sedikit demi sedikit dan terakumulasi, dan
pelepasannya pada umumnya tidak terduga
g.
Delinkuen karena keyakinan
Seseorang melakukan tindak pidana karena merasa ada
kewajjiban dan adanya keyakinan bahwa merekalah yang paling benar. Mereka
menilai normanya sendiri lebih tinggi daripada norma kelompok lain. Hanya jika
penilaian normanya ini terlalu kuat, maka barulah dikatakan delinkuen karena
keyakinan.
h.
Delinkuen karena tidak punya
disiplin kemasyarakatan
Mereka yang tidak mau mengindahkan hal-hal yang oleh
pembuat undang-undang diatur guna melindungi kepentingan umum.
B. Penyebab Kejahatan
Pada umumnya
penyebab kejahatan terdapat tiga kelompok pendapat yaitu:
a.
Pendapat bahwa kriminalitas itu
disebabkan karena pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku
b.
Pendapat bahwa kriminalitas
merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku sendiri
c.
Pendapat yang menggabungkan, bahwa
kriminalitas itu disebabkan baik karena pengaruh di luar pelaku maupun karena
sifat atau bakat si pelaku.
Bagi Bonger,
bakat merupakan hal yang konstan atau tetap, dan lingkungan adalah faktor
variabelnya dan karena itu juga dapat disebutkan sebagai penyebabnya bahwa ada
hubungan langsung antara keadaan ekonomi dengan kriminalitas biasanya
mendasarkan pada perbandingan statistik dalam penelitian. Selain keadaan
ekonomi, penyebab di luar diri pelaku dapat pula berupa tingkat gaji dan upah,
pengangguran, kondisi tempat tinggal bobrok, bahkan juga agama. Banyak
penelitian yang sudah dialakukan untuk mengetahui pengaruh yang terdapat di
luar diri pelaku untuk melakuakn sebuah tindak pidana. Biasanya penelitian
dilakukan dengan cara statistic yang disebut dengan ciminostatistical
investigation.
Bagi para penganut aliran bahwa kriminalitas timbul sebagai akibat bakat si pelaku, mereka berpandangan bahwa kriminalitas adalah akibat dari bakat atau sifat dasar si pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan bentuk ekspresi dari bakat. Para penulis Jerman mengatakan bahwa bakt itu diwariskan. Pemelopor aliran ini, Lombroso, yang dikenal dengan aliran Italia, menyatakan sejak lahir penjahat sudah berbeda dengan manusia lainnya, khususnya jika dilihat dari ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan melainkan merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi merupakan penyebab kriminalitastelah banyak ditinggalkan orang, kemudian muncul pendapat bahwa kriminalitas itu merupakan akibat dari bakat psikis atau bakat psikis dan bakat ragawi.
Bagi para penganut aliran bahwa kriminalitas timbul sebagai akibat bakat si pelaku, mereka berpandangan bahwa kriminalitas adalah akibat dari bakat atau sifat dasar si pelaku. Bahkan beberapa orang menyatakan bahwa kriminalitas merupakan bentuk ekspresi dari bakat. Para penulis Jerman mengatakan bahwa bakt itu diwariskan. Pemelopor aliran ini, Lombroso, yang dikenal dengan aliran Italia, menyatakan sejak lahir penjahat sudah berbeda dengan manusia lainnya, khususnya jika dilihat dari ciri tubuhnya. Ciri bukan menjadi penyebab kejahatan melainkan merupakan predisposisi kriminalitas. Ajaran bahwa bakat ragawi merupakan penyebab kriminalitastelah banyak ditinggalkan orang, kemudian muncul pendapat bahwa kriminalitas itu merupakan akibat dari bakat psikis atau bakat psikis dan bakat ragawi.
Untuk mendapatkan bukti pengaruh pembawaan dalam kriminalitas, berbagai macam penelitian telah dilakukan dengan berbagai macam metode. Metode yang menarik antara lain:
a.
Criminal family, penyelidikan
dilakukan terhadap keluarga penjahat secara vertical dari satu keturunan ke
keturunan yang lain
b.
Statistical family, penyelidikan
sejarah keluarga golongan besar penjahat secara horizontal untuk mendapatkan
data tentang faktor pembawaan sebagai keseluruhan
c.
Study of twins, penyelidikan
terhadap orang kembar.
Setiap orang, sedikit atau banyak memiliki bakat
kriminal, dan bilamana orang itu dalam lingkungan yang cukup kuat untuk
berkembangnya bakat kriminal sedemikian rupa, maka orang itu pasti akan
terlibat dalam kriminalitas. Hubungan antara pengaruh pembawaan dan lingkungan
pada etiologi kriminal yang dikaitkan dengan penyakit-penyakit mental dengan
diagram sebagai berikut: Lindesmith dan Dunham menyimpulkan bahwa kriminalitas
dapat 100 persen sebagai akibat dari faktor kepribadian namun juga dapat 100
persen sebagai akibat faktor sosial, tetapi yang paling banyak adalah sebagai
gabungan faktor pribadi dan faktor sosial yang bersama-sama berjumlah 100
persen.
Seelig membagi hubungan bakat-lingkungan-kejahatan sebagai berikut:
a.
Sementara orang, oleh karena
bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang cukupan saja telah melakukan deik
b.
Lebih banyak orang yang karena
bakatnya, dengan pengaruh lingkungan yang kuat, melakukan delik
c.
Sangat sedikit orang karena pengaruh
dari luar yang cukupan saja, melakukan delik
d.
Sebagian besar orang lebih dari 50
persen, dengan bakatnya, walaupun berada di dalam lingkungan yang kurang baik
dan cukup kuat, tidak ,menjadi kriminal.
Sauer berpendapat bahwa pertentangan bakat-lingkungan
itu terlalu dilebih-lebihkan, dan bahwa baik bakat, lingkungan atau keduanya
bersama-samadapat menjadi penyebab kriminalitas sudahlah cukup. Selanjutnya ia
mengatakan bahwa setiap pelaku berdasarkan bakat sebagai sumber biologis dan sedikit
atau banyak dipengaruhi oleh kekuatan dari luar yang berasal dari alam maupun
masyarakat, dan baik itu merupakan syarat ataupun merupakan gejala yang
mengiringinya, pelaku itu melakukan perbuatan kriminalnya. Sebagai faktor
ketiga, Sauer masih menyebutkan pula kehendak.
Noach mengatakan kriminalitas yang terjadi pada orang
normal merupakan akibat dari bakat dan lingkungan, yang pada suatu ketika hanya
salah satu faktor saja, pada waktu yang lain faktor yang lainnya dan yang
kedua-duanya mungkin saling berpengaruh.
Sutherland mengawali penjelasannya tentang teori
sosiologis dengan menunjukkan dua prosedur yang penting yang perlu diperhatikan
dalam mengembangkan teori sebab musabab perilaku kriminal. Yang pertama adalah
abstraksi logis, penelitiannya menunjukkan bahwa perilaku kriminal itu sedikt
berkaitan dengan patologi sosial dan patologi pribadi. Dan yang kedua
diferensiasi tingkat analisis yang artinya dalam menganalisis penyebab
kejahatan haruslah diketahui pada tingkat tertentu yang mana.
Untuk menjelaskan perilaku kriminal secara ilmiah
dapat dilakukan dalam hubungan dengan :
a.
Proses yang terjadi pada waktu
kejahatan itu (Mekanistis, situasional, atau dinamis)
b.
Proses yang terjadi sebelum
kejahatan berlangsung (Historis atau Genetik)
Proses seseorang terlibat dalam perilaku kriminal adalah sebagai berikut:
Perilaku kriminal itu dipelajari
Proses seseorang terlibat dalam perilaku kriminal adalah sebagai berikut:
Perilaku kriminal itu dipelajari
Perilaku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan
orang lain di dalam proses komunikasi
Inti dari mempelajari perilaku kriminal terjadi di
dalam kelompok pribadi yang intim
Dalam mempelajari perilaku kriminal, yang dipelajari
meliputi:
Teknik melakukan kejahatan
Teknik melakukan kejahatan
Arah khusus dari motif, dorongan, rasionalisasi, dan
sikap
Arah kasus dari motif dan dorongan dipelajari dari
batasan-batasan hukum
Seseorang menjadi delinkuen karena sikap yang cenderung untuk melanggar hukum melebihi sikap yang merasa tidak menguntungkan bila melanggar hukum pengaruh kelompok terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan:
Seseorang menjadi delinkuen karena sikap yang cenderung untuk melanggar hukum melebihi sikap yang merasa tidak menguntungkan bila melanggar hukum pengaruh kelompok terhadap individu, maka dapatlah dipikirkan:
a.
Seorang individu mendapat pengaruh
hanya dari satu macam kelompok;
b.
Seorang individu mendapat pengaruh
dari dua kelompok atau
c.
Differential association mungkin
bervariasi dalam hal frequensi, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya
d.
Proses belajar perilaku kriminal
melalui asosiasi dengan pola kriminal dan anti-kriminal semua mekanisme atau
cara belajar pada hal-hal yang lain
e.
Perilaku merupakan ungkapan
kebutuhan dan nilai, tetapi hal ini tidak dipakai untuk alasan, karena perilaku
non-kriminal pun juga merupakan ungkapan kebutuhan dan nilai.
Mengenai pengaruh individu dan kelompok, bila meninjau
kemungkinan lebih.
THORSTEN SELLIN berpendapat bahwa konflik antar norma
dari tatanan budaya yang berbeda mungkin terjadi karena:
a.
Tatanan ini berbenturan di daerah
budaya yang berbatasan;
b.
Dalam hal norma hkum, hukum dari suatu
kelompok tertentu meluas dan menguasai wilayah kelompok budaya yang lain;
c.
Anggota dari kelompok budaya pindah
ke kelompok budaya yang lain. Kecenderungan
dalam teori sosiologi untuk memberikan nama kepada struktur sosial yang
berfungsi (secara salah) pada dorongan biologis manusia yang tidak dibatasi
oleh kontrol sosial. Sikap koformis implikasinya adalah sebagai akibat dari
pemikiran dan perhitungan akan kebutuhan atau karena alasan yang tidak
diketahui. Tokohnya adalah MERTON yang mencoba mencari bagaimana struktur
sosial menerapkan tekanan terhadap orang-orang di dalam masyarakat dan bersifat
non-konformis dan bukannya konformis. Diantara unsur-unsur sosial dan struktur
sosial terdapat dua hal yang penting, yaitu: Pertama, adalah tujuan, maksud dan
kepentingan budaya yang telah bersama-sama ditentukan. Hal ini meliputi
aspirasi budaya, yang oleh MERTON disebut “pola hidup berkelompok” (designs for
group living). Kedua, struktur sosial itu menetapkan mengatur dan mengendalikan
cara untuk mencapai tujuan tersebut.
Kesesuaian atau koordinasi antara “tujuan” dan “cara”
sangatlah perlu di dalam struktur sosial, sebab tanpa adanya kesesuaian,
keseimbangan, atau koordinasi antara dua hal tersebut akan mengarah kepada
“anomie” yaitu situasi tanpa norma dalam struktur sosial tang disebabkan karena
adanya jurang perbedaan antara aspirasi dalam bidang ekonomi yang telah
melembaga dalam masyarakat dengan kesempatan yang diberikan oleh struktur
sosial tersebut untuk mencapainya. Dr. J.E. Sahetapy membagi teori-teori sosiologik
mengenai kriminal berdasarkan penekanan pada:
a.
Aspek konflik kebudayaan (Culture
conflict) yang terdapat dalam sistem sosial
b.
Aspek disorganisasi sosial
c.
Aspek ketiadaan norma
d.
Aspek sub-budaya (Sub-Culture) yang
terdapat di dalam kebudayaan induk (dominan culture)
C.
Hubungan
Kriminalitas dengan Berbagai Gejala
a. Kriminalitas dan Jenis Kelamin
Angka
statistik menunjukkan bahwa jumlah wanita yang dijatuhi pidana lebih rendah
daripada pria. Angka statistik ini menunjuk pada perbuatan delik secara umum. Namun
bila perbuatan delik sudah dikhususkanm kemungkinan angka statistik
perbandingan pelaku delik wanita dengan pria akan bertambah porsi bagi
wanitanya. Misalnya saja dalam delik abortus.
Telah banyak
penjelasan mengenai kenyataan ini dan dapat dikelompokkan dalam tiga kategori
antara lain:
Sebenarnya
kriminalitas yang dilakukan oleh wanita jauh lebih tinggi dari angka yang ada .1
Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya dark number yaitu anka kejahatan yang tidak dicatat karena sesuatu hal. Contohnya dalam kasus abortus, kasus ini kebanyakan akan ditutup-tutupi dan disembunyikan baik oleh korban maupun keluarganya. Selain hal tersebut, kaum pria cenderung memiliki sifat gentleman yaitu berusaha melindungi wanita. Ketika terdapat wanita yang melakukan kejahatan, pria merasa perlu melindunginya.
Hal tersebut dikarenakan masih banyaknya dark number yaitu anka kejahatan yang tidak dicatat karena sesuatu hal. Contohnya dalam kasus abortus, kasus ini kebanyakan akan ditutup-tutupi dan disembunyikan baik oleh korban maupun keluarganya. Selain hal tersebut, kaum pria cenderung memiliki sifat gentleman yaitu berusaha melindungi wanita. Ketika terdapat wanita yang melakukan kejahatan, pria merasa perlu melindunginya.
Kondisi
lingkungan bagi wanita ditinjau dari segi kriminologi lebih menguntungkan
daripada kondisi bagi pria .
a.
Faktor lingkungan lebih
menguntungkan wanita karena
Perkawinan
bagi wanita merupakan faktor anti irininogen, angka statistic menunjukkan bahwa
angka kriminalitas tertinggi oleh wanita dilakukan oleh wanita yang bercerai
Jika
dibandingkan dengan pria, partisipasi wanita lebih sedikit dalam kegiatan
masyarakat sehingga dapat mengurangi konflik yang dapat mengarah pada
kriminalitas.
b.
Sifat wanita sendiri membawa
pengaruh rendahnya kriminalitas
Faktor fisik wanita yang lemah kurang cocok untuk delik-delik agresi Ø
Faktor psikis wanita mempunyai variasi yang lebih sempit, jadi sifat ekstrem baik maupun
Faktor fisik wanita yang lemah kurang cocok untuk delik-delik agresi Ø
Faktor psikis wanita mempunyai variasi yang lebih sempit, jadi sifat ekstrem baik maupun
buruk jarang
terjadi pada wanita
b.
Kriminalitas
dan Cacat Tubuh
Cacat tubuh
dibedakan antara yang diderita sejak kelahirannya dan yang diperoleh dalam
perjalanan hidupnya. Cacat tubuh yang memungkinkan menjadi faktor kriminogen
antara lain:
Wajah
Tuli
Buta
Wajah
Tuli
Buta
c.
Keluarga dan
Hubungan Keluarga
Pengaruh keluarga muncul pada:
Situasi Keluarga
Pada keluarga yang berantakan dan
pecah, berpotensi untuk menimbulkan kejahatan
Besarnya Keluarga
Besarnya Keluarga
Semakin besar keluarga, semakin
tinggi beban ekonominya. Anak kurang mendapatkan perhatian dari orang tua,
kenakalan tidak diperhatikan orang tua, Kemungkinan konflik dengan lingkungan
lebih besar
Anak tunggal
Anak tunggal
kebanyakan dimanjakan dan diperlakukan over protective
Tidak adanya saudara menyulitkan anak untuk menyesuaikan diri sebagai anggota suatu kelompok
Tidak adanya saudara menyulitkan anak untuk menyesuaikan diri sebagai anggota suatu kelompok
d.
Kriminalitas
dan Umur
Di masa
anak-anak, statistic kriminalitas tidak dapat diikuti dengan tegas, karena
banyak kejahatan yang dilakukan oleh anak tidak dipidana namun hanya
diberitahukan kepada orang tua. Jenisnya bisanya berupa pencurian sederhana,
perusakan barang, atau pencurian karena disuruh oleh orang lain. Masa remaja
adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Di masa ini frekensi
kejahatan tinggi terjadi konflik antara harapan dan kenyataan. Macam
kejahatannya dapat berawal dari pencurian biasa sampai dengan pencurian dengan
kekerasan. Awal masa dewasa adalah lanjutan dari masa remaja. Frekuensi
kriminalitas masih tetap tinggi walaupun sedikit lebih rendah jika dibandingkan
pada masa remaja.Macam kriminalitas berupa pencurian yang lebih canggih,
penggelapan, dan seksualitas
Pada Masa
Dewasa Penuh kejahatan yang dilakukan cenderung pada yang lebih menggunakan
akal dan pikiran dari pada kekuatan fisik. Frekuensinya menurun namun
kualitasnya meningkat. Macam kriminalitasnya banyak ditujukan pada kekayaan
seperti penggelapan, pemalsuan, dan penipuan
Pada masa usia lanjut, kekuatan
fisik maupun psikis sudah mulai menurun. Produktivitas juga menurun. Karena
penghasilan menurun, dorongan untuk melakukan delik terhadap kekayaan ada
kecenderungan meningkatnamun dengan cara anak-anak.
e.
Residivis
Kebanyakan
resedivis melakukan kejahatan pada waktu masih muda. Lebih dari 50% residivis
pernah melakukan kejahatan pertama kali pada usia muda. Mereka yang baru mulai
menjadi kriminal pada usia dewasa, kemungkinan melakukan residivis lebih kecil
karena waktu untuk melakukan residivis relative pendek, pola watak pada masa
dewasa telah mantap, kriminalitas yang dilakukan dan diketahui orang tidak
jarang hanya merupakan masalah kondisi yang kebetulan dan bukannya kondisi yang
berulang.
f.
Keadaan
Ekonomi, Lapangan Kerja, dan Rekreasi
Kemelaratan
miningkatkan kejahatan. Bahkan kemelaratanlah yang menyebabkan kejahatan.
Kemunduran kemakmuran baik secara individu maupun pada kelompok dapat
meningkatkan tingkat kriminalitas. Kemelaratan sebenarnya bukanlah satu-satunya
faktor yang menimbulkan konflik dan faktor kriminogen. Ketika sebuah masyarakat
terisolasi yang penghidupannya menurut masyarakat lain dianggap rendah, akan
dapat tetap hidup tenang jika norma dalam masyarakat tersebut tidak berubah dan
tidak ada kesenjangan diantara mereka. Jurang perbedaan dalam hal keadaan
ekonomi dapat menjadi faktor kriminogen. Yang menjadi perhatian kriminologi
dalam lapangan pekerjaan antara lain seperti faktor pemilihan lapangan kerja
yang biasanya dipengaruhi oleh lingkungan, norma di lapangan kerja terutama
dalam pekerjaan yang pekerjanya saling berhubungan dalam waktu yang lama dapat
menimbulkan sebuah norma kerja sendiri. Jika norma lapangan kerja menyimpang,
contohnya di sebua pabrik sudah biasa pekerjanya mengambil hasil produksinya,
padahal di pabrik yang lain tidak, hal tersebut akan menjadi kebiasaan, dan
kesempatan yang terdapat dalam lapangan pekerjaan yang dapat berupa ketrampilan
yang digunakan untuk kejahatan dan lingkungan lapangan pekerjaan yang mendukung
seseorang untuk melakukan tindak pidana. Rekreasi dapat menjadi faktor
kriminogen dan anti-kriminogen. Melalui rekreasi akan diperoleh rasa puas dan
lepas dari ketegangan. Perasaan yang demikian akan mengurangi kriminalitas.
Sedangkan di sisi yang lain rekreasi merupakan pengeluaran. Bisa jadi
pendapatan tidak dapat mengejar rekreasi yang diinginkan. Bentuk rekreasi dapat
pula mengarah pada kriminalitas seperti berburu, dan permainan ketrampilan yang
mengarah pada perjudian.
D. Kriminalitas sebagai Profesi dan Kebiasaan
Batasan antara penjahat professional dan yang sebagai kebiasaan menurut Noach adalah: “Penjahat professional memang pekerjaannya atau mata pencahariannya sebagai penjahat, sedangkan penjahat sebagai kebiasaan, kecuali melakukan kejahatan juga mempunyai pekerjaan lain. Apakah menjadi tumpuan penghidupannya itu pekerjaan dari kejahatan atau pekerjaan yang lain yang halal bukan masalah”
Sutherland menunjukkan
sifat-sifat khusus dari penjahat professional antara lain sebagai berikut:
“Secara teratur tiap hari menyiapkan dan melakukan kejahatan. Untuk itu,
penjahat tersebut memerlukan kemampuan teknik guna melakukan kejahatannya dan
melatih diri serta mengembangkan kemampuannya itu.
Pencuri professional dapat melakukan kejahatannya dengan aman karena tiga hal yaitu:
a.
Memilih cara yang paling minimum
bahayanya
b.
Pencuri meningkatkan ketrampilan dan
kemampuannya baik secara fisik maupun psikisnya
c.
Dengan cara mengatur “fix”
(pemulihan) sekiranya ia tertangkap, teknik pemulihan itu juga sedemikian rupa,
baik dilakukan oleh si pencuri sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak jarang
polisi, jaksa, bahkan hakim dilibatkan.
Selain
kejahatan secara umum, ada pula kejahatan yang terorganisasi (organized crime).
Organisasi kecil-kecilan seperti di kalangan pencopet membuat normanya sendiri,
dengan sanksinya yang cukup tegas dan kadang daerah operasinyapun telah dibagi.
Organisasi tersebut disebut dengan organisasi informalTerdapat pula organisasi
penjahat yang bersifat lebih formal. Cirinya adalah yang pertama adanya
pembagian pekerjaan, yaitu semacam spesialisasi tertentu yang berada dalam
jaringan sistem, kedua bahwa kegiatan masing-masing di dalam sistem tersebut dikoordinasikan
dengan kegiatan lain melalui aturan permainan, persetujuan dan saling
pengertian, dan yang ketiga, seluruh kegiatan tersebut secara rasional
diarahkan pada suatu tujuan yang sama-sama diketahui oleh para anggotanya.
Prostitusu juga dapat dikategorikan ke dalam kejahatan professional walaupun
kata kejahatan kurang tepat jika disematkan pada prostitusi karena jika dilihat
dalam KUHP tidak ada pasal yang mengancam prostitusi kecuali perbuatan yang
memudahkan prostitusi.
Menurut Norwood East pengertian prostitusi adalah hubungan seksual yang tanpa pilih-pilih atas dasar bayaran. Yang paling banyak terjun dalam dunia prostitusi adalah kaum wanita walaupun tidak menutup kemungkinan pula prostitusi dilakukan oleh kaum laki-laki. Menurut Glover wanita yang cenderung untuk melakukan tindakan prostitusi adalah mereka yang mengalami gangguan psikologis maupun seksual, dan merupakan akibat dari kurangnya kasih sayang dan perhatian pada masa kanak-kanak. Motivasi wanita untuk terjun dalam dunia prostitusi utamanya adalah kebutuhan ekonomi dan keinginan untuk mendapatkan kebutuhan lainnya disamping kebutuhan pokok sehari-hari. Tidak jarang mereka yang terjun dalam lembah hitam karena bujukan keluarga atau kenalannya yang sudah terlebih dahulu berada di dalam dunia prostitusi.
Menurut Norwood East pengertian prostitusi adalah hubungan seksual yang tanpa pilih-pilih atas dasar bayaran. Yang paling banyak terjun dalam dunia prostitusi adalah kaum wanita walaupun tidak menutup kemungkinan pula prostitusi dilakukan oleh kaum laki-laki. Menurut Glover wanita yang cenderung untuk melakukan tindakan prostitusi adalah mereka yang mengalami gangguan psikologis maupun seksual, dan merupakan akibat dari kurangnya kasih sayang dan perhatian pada masa kanak-kanak. Motivasi wanita untuk terjun dalam dunia prostitusi utamanya adalah kebutuhan ekonomi dan keinginan untuk mendapatkan kebutuhan lainnya disamping kebutuhan pokok sehari-hari. Tidak jarang mereka yang terjun dalam lembah hitam karena bujukan keluarga atau kenalannya yang sudah terlebih dahulu berada di dalam dunia prostitusi.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
e.
Kesimpulan
Relativitas Kejahatan, sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi-kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama yang terdapat hubungan antara variasi kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi, maka angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dari proses-proses misalnya gerak sosial, persaingan dan penentangan kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi. Dengan cara inilah sosiologi memandang arti sebuah kejahatan.
Relativitas Kejahatan, sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi-kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama yang terdapat hubungan antara variasi kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi, maka angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisi-kondisi dari proses-proses misalnya gerak sosial, persaingan dan penentangan kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi. Dengan cara inilah sosiologi memandang arti sebuah kejahatan.
Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya.
Tentunya
relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta
siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.”Misdaad is benoming” yang
berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusia-manusia yang
tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif,
ada pula perbedannya antara “mala in se” dengan “mala in prohibita”.Mala in se
adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan
kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang
diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan
dalam Undang-undang. Siapakah sebenarnya penjahat itu. Apakah cukup mereka yang
dinyatakan melakukan perbuatan yang dilarang dan diberi sanksi hukum yang
tercantum dalam pasal undang-undang disebut sebagai penjahat? Dalam KUH-Pidana
(kita) tidak ada satu pasal pun yang mengatakan bahwa penjahat adalah...,dan
KUH-Pidana kita tidak menyebutkan siapakah orangnya yang menyandang gelar
penjahat. Akan tetapi mereka hanya dicap sebagai penjahat dengan sebutan
“barang siapa” (Yesmil Anwar.), tentunya penjahat itu merupakan label atau
stigma dari undang-undang.
B. Saran dan Kritik
B. Saran dan Kritik
Kami sekelompok menyadari bahwa makalah yang kami buat ini jauh dari kata sempurna,oleh karena itu saran dan kritik dari para pembaca memungkinkan agar makalah kami dapat lebih sempurna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar