TUGAS AGAMA
PERAN AGAMA DAN MANUSIA
DI
SUSUN
OLEH
NAMA : SUFRIN RIDJA
NIM : 2101130007
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BUNG KARNO
KATA PENGANTAR
Dengan
mengeucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan nikmat
kesempatan, nikmat kesehatan, sehingga
saya bisah menyelesaikan tugas Agama dengan judul peran agama dengan peran
manusia
yang telah diberikan kepada dosen.
Dengan
tugas yang di berikan kepada dosen, saya pribadi merasa bersukur karena
pandangan saya, dengan tugas ini bisa
memberikan dorongan pada pribadi saya dan melati saya untuk membuat sesuatu
yang terkait dengan pembuatan,makalah,ringkasan,kripsi dan sebagainya.
Dengan tugas Agama ini akan
menjadi pedoman bagi saya,karena selaku manusia yang beragama, maka wajib untuk jadi pedoman.
Agama menjadi pedoman manusia
menuju pada kebahagian di dunia maupun akhirat.
dengan
demikian terimakasi kepada dosen yakni ibu istiaqoma, selaku memegang mata kulia Agama.
Wassalam,
Hari rabu tanggal 29 januari 2013
Sufrin
Ridja
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk
yang memilki potensi untuk berahlak baik (takwa) atau buruk (fujur)
potensi fujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia karena terkait
dengan aspek instink, naluriah, atau hawa nafsu, seperti naluri
makan/minum, seks, berkuasa dan rasa aman.
Apabila potentsi takwa seseorang lemah, karena
tidak terkembangkan (melalui pendidikan), maka prilaku manusia dalam hidupnya
tidak akan berbeda dengan hewan karena didominasi oleh potensi fujurnya yang
bersifat instinktif atau implusif (seperti berzina, membunuh, mencuri,
minum-minuman keras, atau menggunakan narkoba dan main judi). Agar hawa nafsu
itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka
potensi takwa itu harus dikembangkan, yaitu melalui pendidikan agama dari sejak
usia dini. Apabila nilai-nilai agama telah terinternalisasi dalam diri
seseorang maka dia akan mampu
mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertakwa, yang salah satu
karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (self control) dari
pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.
B. Rumusan Masalah
Untuk mengkaji masalahan yang terdapat dalam tugas ini “Manusia dan Agama” ini, saya akan membuat
beberapa rumusan masalah yang akan dibahas:
1. Bagaimana
Konsep manusia dalam Islam?
2. Bagaimana konsep Agama?
3.
Bagaimanakah hubungan agama dengan manusia?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk
mengetahui konsep manusia dalam Islam.
2. Untuk
Mengetahui konsep Agama.
3. Untuk
mengetahui hubungan agama dengan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Manusia dalam Islam
1.
Pengertian Manusia dalam Alqur’an
Quraish Shihab mengutip dari Alexis
Carrel dalam “Man the Unknown”, bahwa banyak kesukaran yang dihadapi
untuk mengetahui hakikat manusia, karena keterbatasan-keterbatasan manusia
sendiri.
Istilah kunci yang digunakan
Al-Qur’an untuk menunjuk pada pengertian manusia menggunakan kata-kata basyar, al-insan, dan an-nas.
Kata basyar disebut dalam Al-Qur’an 27 kali. Kata basyar menunjuk pada pengertian manusia sebagai makhluk biologis
(QS Ali ‘Imran [3]:47) tegasnya memberi pengertian kepada sifat biologis
manusia, seperti makan, minum, hubungan seksual dan lain-lain.
Kata al-insan dituturkan sampai 65 kali dalamAl-Qur’an yang dapat
dikelompokkan dalam tiga kategori. Pertama
al-insan dihubungkan dengan khalifah sebagai penanggung amanah (QS Al-Ahzab
[3]:72), kedua al-insan dihubungankan
dengan predisposisi negatif dalam diri manusia misalnya sifat keluh kesah,
kikir (QS Al-Ma’arij [70]:19-21) dan ketiga
al-insan dihubungkan dengan proses penciptaannya yang terdiri dari unsur
materi dan nonmateri (QS Al-Hijr [15]:28-29). Semua konteks al-insan ini menunjuk pada sifat-sifat
manusia psikologis dan spiritual.
Kata an-nas yang disebut sebanyak 240 dalam Al-Qur’an mengacu kepada
manusia sebagai makhluk sosial dengan karateristik tertentu misalnya mereka
mengaku beriman padahal sebenarnya tidak (QS Al-Baqarah [2]:8)[1][1]
Dari uraian ketiga makna untuk
manusia tersebut, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah mahkluk biologis,
psikologis dan sosial. Ketiganya harus dikembangkan dan diperhatikan hak maupun
kewajibannya secara seimbang dan selalu berada dalam hukum-hukum yang berlaku (sunnatullah).[2][2]
Al-Qur’an memandang manusia
sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan
penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal
manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan,
mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari surga, tidak bisa dijadikan
argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran
justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan
menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski
dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan
kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai
makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena itu, kualitas, hakikat,
fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di
dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu. Sungguhpun
demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu
selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal
tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa
menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan
pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu,
kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan
bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di
atas.
Gambaran al-Qur’an tentang kualitas
dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teori superego yang
dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang
pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas
jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu
mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai
tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga
penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk)
tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu
muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah)
berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia.
Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan
justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan
intelegensi –ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama– bekerja
secara matang dan integral.
Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang
positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang
negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.
2.
Tujuan Penciptaan Manusia
Kata “Abdi” berasal dari kata bahasa Arab yang artinya
“memperhambakan diri”, ibadah (mengabdi/memperhambakan diri). Manusia
diciptakan oleh Allah agar ia beribadah kepada-Nya. Pengertian ibadah di sini
tidak sesempit pengertian ibadah yang dianut oleh masyarakat pada umumnya,
yakni kalimat syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji tetapi seluas pengertian
yang dikandung oleh kata memperhambakan dirinya sebagai hamba Allah. Berbuat sesuai dengan kehendak dan
kesukaann (ridha) Nya dan menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya.[3][3]
3.
Fungsi dan Kedudukan Manusia
Sebagai
orang yang beriman kepada Allah, segala pernyataan yang keluar dari mulut
tentunya dapat tersingkap dengan jelas dan lugas lewat kitab suci Al-Qur’an
sebagai satu kitab yang abadi. Dia menjelaskan bahwa Allah menjadikan manusia
itu agar ia menjadi khalifah (pemimpin) di atas bumi ini dan kedudukan
ini sudah tampak jelas pada diri Adam (QS Al-An’am [6]:165 dan QS Al-Baqarah
[2]:30) di sisi Allah menganugerahkan kepada manusia segala yang ada dibumi,
semula itu untuk kepentingan manusia (ia
menciptakan untukmu seluruh apa yang ada dibumi ini. QS Al-Baqarah [2]:29).
Maka sebagai tanggung jawab kekhalifahan dan tugas utama umat manusia sebagai
makhluk Allah, ia harus selalu menghambakan dirinyakepada Allah Swt.
Untuk
mempertahankan posisi manusia tersebut, Tuhan menjadikan alam ini lebih rendah
martabatnya daripada manusia. Oleh
karena itu, manusia diarahkan Tuhan agar tidak tunduk kepada alam, gejala alam
(QS Al-Jatsiah [45]:13) melainkan hanya tunduk kepada-Nya saja sebagai hamba
Allah (QS Al-Dzarait [51]:56). Manusia harus menaklukanya, dengan kata lain
manusia harus membebaskan dirinya dari mensakralkan atau menuhankan alam.
Jadi dari
uraian tersebut diatas bisa ditarik kesimpulan secara singkat bahwa manusia
hakikatnya adalah makhluk biologis, psikolsogi dan sosial yang memiliki dua
predikat statusnya dihadapan Allah sebagai Hamba Allah (QS Al-Dzarait [51]:56)
dan fungsinya didunia sebagai khalifah Allah
(QS Al-Baqarah [2]:30); al-An’am [6]:165), mengantur alam dan mengelolanya
untuk mencapai kesejahteraan kehidupan manusia itu sendiri dalam masyarakat
dengan tetap tunduk dan patuh kepada sunnatullah.
4.
Hakekat Manusia Menurut Al-Qur’an
Hakekat manusia adalah sebagai
berikut :
a.
Makhluk yang memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
b.
Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku
intelektual dan sosial.yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif
mampu mengatur dan mengontrol dirinya serta mampu menentukan nasibnya.
c.
Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah
selesai (tuntas) selama hidupnya.
d.
Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk
mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik
untuk ditempati
e.
Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan
dengan potensi yang tak terbatas
f.
Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik
dan jahat.
g.
Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial,
bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusiaannya tanpa
hidup di dalam lingkungan sosial.
h.
Makhluk yang berfikir. Berfikir adalah bertanya, bertanya berarti mencari
jawaban, mencari jwaban berarti mencari kebenaran.[4][4]
5.
Hakekat Manusia (Menurut Islam - Mohammad Sholihuddin, M.HI)
Manusia terdiri dari sekumpulan
organ tubuh, zat kimia, dan unsur biologis yang semuanya itu terdiri dari zat
dan materi Secara Spiritual manusia adalah roh atau jiwa. Secara Dualisme
manusia terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dann ruhani (Jasad dan roh).
Potensi dasar manusia menurut jasmani ialah kemampuan untuk bergerak dalam
ruang yang bagaimanapun, di darat, laut maupun udara. Dan jika dari Ruhani,
manusia mempunyai akal dan hati untuk berfikir (kognitif), rasa (affektif), dan
perilaku (psikomotorik). Manusia diciptakan dengan untuk mempunyai kecerdasan.[5][5]
B.
Konsep Agama
1.
Pengertian Agama
Kata agama
dalam bahasa Indonesia berarti sama dengan “din”
dalam bahasa Arab dan Semit, atau dalam bahasa Inggris “religion”. Dari arti bahasa (etimologi) agama berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun temurun.
Sedangkan kata “din” menyandang arti
antara lain menguasai, memudahkan, patuh, utang, balasan atau kebiasaan.[6][6]
Secara
istilah (terminologi) agama, seperti ditulis oleh Anshari bahwa walaupun agama,
din, religion, masing-masing
mempunyai arti etimologi sendiri-sendiri, mempunyai riwayat dan sejarahnya
sendiri-sendiri, namun dalam pengertian teknis terminologis ketiga istilah
tersebut mempunyai makna yang sama, yaitu:
a. Agama, din, religion adalah satu
sistem credo (tata keimanan atau tata
keyakinan) atas adanya Yang Maha Mutlak diluar diri manusia;
b. Agama juga adalah
sistem ritus (tata peribadatan)
manusia kepada yang dianggapnya Maha Mutlak tersebut.
c. Di samping
merupakan satu sistema credo dan satu
sistema ritus, agama juga adalah satu
sistem norma (tata kaidah atau tata aturan) yang mengatur hubungan manusia
sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam lainnya, sesuai dan sejalan
dengan tata keimanan dan tata peribadatan termaktub diatas.
Menurut
Durkheim Durkheim: agama merupakan sebuah sistem kepercayaan dan ritual yang
berkaitan dengan yang suci (the sacred). Bagi Spencer, agama adalah
kepercayaan terhadap sesuatu yang Maha Mutlak. Sementara Dewey, menyatakan
bahwa agama adalah pencarian manusia terhadap cita-cita umum dan abadi meskipun
dihadapkan pada tantangan yang dapat mengancam jiwanya; agama adalah pengenalan
manusia terhadap kekuatan gaib yang hebat. Rita Smith Kipp dan Susan Rodgers:
agama harus (1) monoteistik, (2) mempunyai kitab, (3) mempunyai nabi, dan (4)
mempunyai komunitas internasional.[7][7]
Dengan demikian, mengikuti pendapat
Smith, tidak berlebihan jika kita katakan bahwa hingga saaat ini belum ada
definisi agama yang benar dan dapat ditarima secara universal.[8][8]
2.
Syarat-Syarat Agama
a.
Percaya dengan adanya Tuhan
b.
Mempunyai kitab suci sebagai pandangan hidup umat-umatnya
c.
Mempunyai tempat suci
d.
Mempunyai Nabi atau orang suci sebagai panutan
e.
Mempunyai hari raya keagamaan
3.
Unsur-Unsur Agama
Menurut Leight, Keller dan Calhoun,
agama terdiri dari beberapa unsur pokok:
a. Kepercayaan agama, yakni suatu
prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi
b. Simbol agama, yakni identitas agama yang
dianut umatnya.
c.
Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan
hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran
agama.
d. Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk
pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e.
Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
4. Fungsi Agama
· Sumber pedoman
hidup bagi individu maupun kelompok
· Mengatur
tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.
· Merupakan
tuntutan tentang prinsip benar atau salah
· Pedoman
mengungkapkan rasa kebersamaan
· Pedoman perasaan
keyakinan
· Pedoman
keberadaan
· Pengungkapan
estetika (keindahan)
· Pedoman
rekreasi dan hiburan
5.
Karakteristik
Agama
Karakteristik agama dalam kehidupan
manusia seperti halnya bangunan yang sempurna. Seperti dalam salah satu sabda
nabi Muhammmad, bahwa beliau adalah penyempurna bangunan agama tauhid yang
telah dibawa oleh para nabi dan rasul sebelum kedatangan beliau.
Layaknya sebuah bangunan agamapun
harus memiliki rangka yang kokoh, tegas, dan jelas. Rangka yang baik adalah
rangka yang menguatkan bangunan yang akan dibangun di atasnya. Memiliki ukuran yang simetris satu sama lainnya.
Komposisi bahan yang tepat karena berperan sebagai penopang. Oleh sebab itu,
kerangka harus memiliki luas yang cukup atau memiliki perbandingan yang sesuai
dengan bangunannnya. Itulah sebaik-baiknya agama dengan demikian agama pada
dasarnya berperan sebagai pedoman kehidupan manusia, untuk menjalani
kehidupannya dibumi. Manusia akan kehilangan pedoman atau pegangan dalam
menjalani kehidupan di dunia bila tidak berpedoman pada agama. Dewasa ini agama
mengalami beralih dan berpedoman kepada akal logikanya. Padahal akal dan logika
manusia memiliki keterbatasan yaitu keterbatasan melihat masa depan. Sedangkan
agama telah disusun sedemikian rupa oleh sang pencipta agar menjadi pedoman
sepanjang hayat manusia. Akibat dari skularisme ini menimbulkan gaya hidup baru
bagi kaum muslim yakni gaya hidup hedomisme dan pragmatis.
Adapun karakteristik agama pada umumnya adalah sebagai
berikut:
a.
Agama adalah suatu sistem tauhid atau sistem ketuhanan (keyakinan) terhadap
eksistensi suatu yang absolute (mutlak), diluar diri manusia yang merupakan pangkal
pertama dari segala sesuatu termasuk dunia dengan segala isinya.
b.
Agama merupakan sistem ritual atau peribadatan (penyembahan) dari manusia
kepada suatu yang absolut.
c.
Agama adalah suatu sistem nilai atau norma (kaidah) yang menjadi pola hubungan
manusiawi antara sesama manusia dan pola hubungan dengan ciptaan lainnya dari
yang absolut.
C.
Perlunya Manusia Terhadap Agama
Sekurang-kurangnnya ada
tiga alasan yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Ketiga
alasan tersebut secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut:[10][10]
1.
Latar belakang Fitra manusia
Kenyataan manusia
memiliki fitrah keagamaan pertama kali ditegaskan dalam ajaran Islam, yakni
bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia. Sebelumnya, manusia belum mengenal
kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini, muncul beberapa orang yang
menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia
inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Oleh karenanya,
ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru manusia agar beragama, maka seruan
tersebut memang amat sejalan dengan fitrahnya itu. Dalam ajaran
Islam dijelaskan bahwa agama adalah kebutuhan fitri manusia.
Dalam Surat al-Rum, 30: 30
فَأَقِمْ
وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا
“ Maka hadapkanlah
wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”
Adanya potensi fitrah beragama yang
terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari istilah insan yang
digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan manusia. Menurut Musa Asy’ari, bahwa
manusia insane adalah manusia yang menerima pelajaran dari tentang apa yang
tidak diketahuinya
Adanya perjanjian manusia dengan
Allah yang telah diikat oleh fitrah mereka. Kenyataan manusia memiliki fitrah
keagamaan tersebut diatas, buat pertama kalinya ditegaskan dalam ajaran Islam
Yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitrah manusia.
Informasi
mengenai potensi beragama dimiliki manusia itu dapat dijumpai pada ayat
al-Qur'an (surat al-A'raf ayat 172)
وَإِذْ
أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ
عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا
يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)",
Berdasarkan informasi
tersebut terlihat dengan jelas bahwa manusia secara fitri merupakan makhluk
yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal demikian sejalan dengan petunjuk
nabi dalam salah satu hadisnya yang mengatakan bawha setiap anak yang
dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang
menjadikan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
Bukti bahwa manusia
sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti
historis dan antropologis. Melalui bukti-bukti historis dan antropologis kita
mengetahui bahwa pada manusia primitif yang kepadanya tidak pernah datang
informasi mengenai Tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya Tuhan, sungguhpun
Tuhan yang mereka percayai itu terbatas pada daya khayalnya. Misalnya saja,
mereka mempertuhankan benda-benda alam yang menimbulkan kesan misterius dan
mengagumkan serta memiliki kekuatan yang selanjutnya mereka jadikan Tuhan,
kemudian kepercayaan ini disebut dengan dinamisme. Selanjutnya, kekuatan
misterius tersebut mereka ganti istilahnya dengan ruh atau jiwa yang memiliki
karakter dan kecenderungan baik dan buruk yang selanjutnya mereka beri nama
agama animisme. Roh dan jiwa itu selanjutnya mereka personifikasikan dalam
bentuk dewa yang jumlahnya banyak dan selanjutnya disebut agama politeisme.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi bertuhan. Namun karena
potensi tersebut tidak diarahkan, maka mengambil bentuk bermacam-macam yang
keadaanya serba relatif. Dalam keadaan demikian itulah para nabi diutus kepada
mereka untuk menginformasikan bahwa Tuhan yang mereka cari itu adalah Allah
yang memiliki sifat-sifat sebagaimana juga dinyatakan dalam agama yang
disampaikan para nabi. Dengan demikian, sebutan Allah bagi Tuhan bukanlah hasil
khayalan manusia dan bukan pula hasil seminar, penelitian, dan sebagainya.
Sebutan atau nama Allah bagi Tuhan adalah disampaikan oleh Tuhan sendiri.
Ketika kita mengkaji
paham hulul dari Al-Hallaj (858-922 M). Misalnya kita jumpai pendapatnya
bahwa pada diri manusia terdapat sifat dasar ke-Tuhanan yang disebut lahut, dan
sifat dasar kemanusiaan yang disebut nasut. Demikian pula pada diri
Tuhan pun terdapat sifat lahut dan nasut. Sifat lahut Tuhan
mengacu pada dzat-Nya, sedangkan sifat nasut Tuhan mengacu pada
sifat-Nya. Sementara itu sifat nasut manusia mengacu kepada unsur
lahiriah dan fisik manusia, sedangkan sifat lahut manusia mengacu kepada
unsur batiniah dan Ilahiah. Jika manusia mampu meredam sifat nasutnya
maka yang tampak adalah sifat lahutnya. Dalam keadaan demikian
terjadilah pertemuan anatara nasut Tuhan dengan lahut manusia,
dan inilah yang dinamakan hulul.
2.
Kelemahan dan kekuarangan manusia
Faktor lain yang melatarbelakangi manusia
memerlukan agama adala karena di samping manusia memiliki berbagai kesempurnaan
juga memiliki kekurangan. Hal ini antara lain diungkapkan oleh kata an-nafs.
Menurut Quraish Shihab, bahwa dalam pandangan al-qur’an, nafs diciptakan
Allah dalam keadaan sempurna yang berfungsi menampung serta mendorong
manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia
inilah yang oleh al-qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar.
Seperti yang tertera dalam al-qur’an surat Al-Syams ayat 7-8:
o وَنَفْسٍ
وَمَا سَوَّاهَا
o فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا
”dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. (Asy-Syams, 91:7-8)
Menurut Quraish Shihab bahwa kata
mengilhamkan berarti potensi agar manusia melalui nafs menangkap makna
baik dan buruk, serta dapat mendorongnya untuk melakukan kebaikan dan
keburukan. Tetapi kata nafs dalam pandangan kaum sufi merupakan sesuatu
yang melahirkan sifat tercela dan periaku buruk. Pengertian kaum sufi tentang nafs
ini sama dengan yag terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indoneisa yang
antara lain menjelaskan bahwa nafs adalah dorongan hati yang kuat untuk
berbuat yang kurang baik. Selanjutnya, Quraish Shihab mengatakan, walaupun
al-qur’an menegaskan bahwa nafs berpotensi positif dan negatif, namun
doperoleh pula isyarat bahwa pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat
daripada daya tarik negatifnya, hanya aja daya tarik keburukan lebih kuat
daripada daya tarik kebaikan. Untuk menjaga kesucian nafs ini manusia
harus selalu mendekatkan diri pada Tuhan dengan bimbingan agama, dan di sinilah
letaknya kebutuhan manusia terhadap agama.
3.
Tantangan manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia
memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi
berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan
dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan, sedangkan
tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan
manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang
dimanifestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang di dalamnya mengandung
misi menjauhkan manusia dari Tuhan. Tantangan dari
dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan. Lihat Surat Al-Isra’
ayat 53.
وَقُلْ لِعِبَادِي يَقُولُوا الَّتِي هِيَ
أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ الشَّيْطَانَ كَانَ
لِلإنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
Artinya: Dan katakanlah kepada
hamba-hamba-Ku: " Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik
(benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka.
Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia
Sementara tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan
manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan manusia dati Tuhan. Seperti yang tertera dalam al-qur’an surat Al-anfal ayat 36:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ
اللَّه
Artinnya: “Sesungguhnya orang-orang
yang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan
Allah.”
Untuk itu, upaya mengatasi dan membentengi
manusia adalah dengan mengajar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan
tantangan hidup demikian itu, saat ini semakin meningkat, sehinga upaya
mengagamakan masyarakat menjadi penting.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Manusia
hakikatnya adalah makhluk biologis, psikolsogi dan sosial yang memiliki dua
predikat statusnya dihadapan Allah sebagai Hamba Allah dan fungsinya didunia
sebagai khalifah Allah, mengantur
alam dan mengelolanya untuk mencapai kesejahteraan kehidupan manusia itu
sendiri dalam masyarakat dengan tetap tunduk dan patuh kepada sunnatullah. Rasa
agama dan perilaku keagamaan (agama dan kehidupan beragama) merupakan pembawaan
dari kehidupan manusia, atau dengan istilah lain merupakan “fitrah” manusia.
Manusia
tidak akan pernah lepas dari agama karena dalam diri manusia ada fitrah. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri manusia inilah yang
melatarbelakangi perlunya manusia pada agama. Faktor
lain yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena di samping
manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan, dan Faktor
lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam
kehidupannya senantiasa menghadapi berbagai tantangan, baik yang datang dari
dalam maupun dari luar.
B. Saran
Demikian yang saya dapat mepaparkan
tentang hukum syar’i, semoga bermanfa’at bagi pembaca pada umumnya dan lebi kususnya saya pri badi. Dan tentunya makalah ini tidak lepas dari kekurangan, untuk itu
saran dan kritik yang bersifat konstruktif sangat kami butuhkan, guna
memperbaiki makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ø Amin, Syukur, Pengantar Studi Islam, Semarang: Pustaka Nuun, 2010
Ø Ahmad,
Supadie Didiek, dkk. Pengantar Studi Islam, Jakarta: Rajawali
Pers, 2011
Ø J, Hasse, Pemetaan Teori Sosial
dalam Penelitian Sosial Keagamaan, Makalah pada Pelatihan Metodologi Penelitian Islam
Keagamaan, STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa, Tanggal. 26 September 2013
Ø Miftah,
Fathoni Ahmad, Pengantar Studi Islam,
Semarang: Gunung Jati, 2001
Ø Muhaiman Dimensi-Dimensi Studi Islam, Surabaya:
Karya Abditama, 1994
Ø Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers. 2010
[6][6]
Harun Nasution, Islam di Tinjau dari
Berbagai Aspeknya , Jilid I. (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press),
1985), hal. 18
[7][7] Hasse
J, Pemetaan
Teori Sosial dalam Penelitian Sosial Keagamaan, Makalah pada
Pelatihan Metodologi Penelitian Islam Keagamaan, STAIN Zawiyah Cot Kala Langsa,
Tanggal. 26 September 2013
[10][10] Abuddin Nata, M.A. Metodologi Studi Islam,
(Jakarta: Rajawali Pers. 2010), hal. 20